“Saat ini harus ada sinergi antar stakeholders karet dalam mendorong peningkatan daya saing, terciptanya persaingan usaha yang sehat. Serta terjaminnya perlindungan konsumen dan masyarakat dalam aspek kesehatan, keamanan dan keselamatan serta kelestarian fungsi lingkungan,” kata Puru Suwarso, Sekretaris Eksekutif Dewan Karet Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa karet merupakan salah satu komoditi unggulan perkebunan yang mampu menghasilkan devisa bagi negara, menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan membantu pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Peningkatan Mutu Melalui Bokor SIR
“Diperlukan perbaikan mutu Bokar Olah Karet (BOKAR) untuk meningkatkan peranan dan daya saing komoditas karet. Dimana lateks dan atau gumpalan yang dihasilkan pekebun kemudian diolah lebih lanjut secara sederhana. Sehingga menjadi bentuk lain yang bersifat lebih tahan untuk disimpan serta tidak tercampur dengan kontaminan. Kontaminan adalah bahan lain bukan karet yang tercampur dalam proses pengolahan bokar dan berpengaruh menurunkan mutu,” ujarnya.
Pengawasan terhadap mutu bahan olah komoditi ekspor Standard Indonesia Rubber (SIR) yang diperdagangkan telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.53/M DAG/PER/10/2009. Sebagai upaya penyediaan bahan olah komoditi ekspor Standard Indonesian Rubber (SIR) yang bermutu baik dan konsisten guna peningkatan ekspor produk SIR yang dihasilkan industri crumb rubber.
Bahan Olah Komoditi Ekspor Standard Indonesian Rubber (SIR), selanjutnya disebut Bokor SIR adalah karet yang berasal dari lateks kebun dari pohon karet (Hevea brasilliensis M) berupa slab, lump, slab lump, ojol, sit angin (unsmoked sfieat), sit asalan (smoked sheet), cutting, crepe, blocked sheets dan blanket. Adapun persyaratannya teknis berupa persyaratan mutu Bokor SIR yang diperdagangkan di dalam negeri dan ditetapkan berdasarkan syarat-syarat keamanan, lingkungan dan aspek ekonomi untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
“Dalam Bokor SIR, kontaminan atau bahan pencemar yang disengaja maupun tidak disengaja terdiri atas, pertama Kontaminan Ringan, yakni tatal alau potongan-potongan kulit pohon yang berasal dari panel sadap, serpihan kulit dan daun pohon Karet yang mengotori Bokor SIR baik disengaja maupun tidak disengaja. Kedua, Kontaminan Vulkanisat Karet adalah karet tervulkanisasi seperti potongan busa, benang karet dan barang jadi lateks lainnya, serta afkiran kompon lateks dan barang jadi karet lainnya yang masuk ke dalam Bokor SIR baik disengaja maupun tidak disengaja. Ketiga, Kontaminan Berat merupakan tanah, pasir, lumpur, tali rafia, karung goni, plastik dan konitaminan lain yang tidak termasuk konitaminan ringan dan konitaminan vulkanisat karet. Selain itu juga ada bahan penggumpal atau larutan asam sernut atau bahan lain yang direkomendasikan oleh lembaga penelitian karet yang kredibel,” jelasnya.
Sementara untuk pengawasan berkala dilakukan melalui pemeriksaan mutu Bokor SIR yang dilakukan di industri crumb rubber terhadap kesesuaian antara mutu Bokor SIR sesudah pembelian dengan persyaratan teknis Bokor SIR dan kesesuaian antara pelaksanaan pemeriksaan mutu Bokor SIR yang dilakukan oleh petugas penguji dengan petunjuk teknis pemeriksaan mutu Bokor SIR yang ditetapkan.
Kemitraan Berkelanjutan
“Untuk mewujudkan pemberdayaan dan peningkatan nilai tambah bagi pekebun serta menjamin keberlanjutan usaha perkebunan dibutuhkan program kemitraan. Tujuannya untuk meningkatkan perkebunan karet yang berkelanjutan dan saling menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab dan memperkuat satu sama lain,” katanya.
Melalui kemitraan tersebut, Bokor SIR diperdagangkan oleh UPPB (satuan unit usaha pekebun), pelaku usaha atau pedagang informal di pasar dalam negeri wajib memenuhi persyaratan teknis, seperti tidak mengandung kontaminan vulkanisat karet, tidak mengandung kontaminan berat, mengandung kontaminan ringan maksimum 5%, dan penggumpalan secara alami atau menggunakan bahan penggumpal.
“Dalam kerjasama ini, Industri Crumb Rubber berperan sebagai pengolah Bokor SIR menjadi karet remah sebagai bahan baku industri melalui proses pembersihan, penyeragaman, pengeringan, dan pengempaan. Sedangkan, UPPB berkontribusi menyediakan tempat penyelenggaraan bimbingan teknis pekebun, pengolahan, penyimpahan sementara dan pemasaran Bokar. Kedepannya petani tidak perlu lagi menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul, melainkan ke Koperasi yang dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) setempat,” paparnya.
Terjalinnya kemitraan diantara pelaku usaha karet tersebut dilakukan bersama dengan pengawasan mutu Bokor SIR yang diperdagangkan, yaitu meliputi persyaratan teknis Bokor SIR, kewajiban pelaku usaha dan pedagang informal, pengawasan mutu Bokor SIR, pembinaan dan sanksi.(M)
Media Perkebunan
Jumat, 17 September 2010
ZTE (CHINA) MELIRIK SAWIT INDONESIA
PT. Sinar citra Cemerlang, PT. PMA China, dan PT. ZTE Agribusiness Indonesia (ZTE Energy Co. Ltd) menandatangani perjanjian kerjasama. Perusahaan tersebut bekerjasama untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 7,400 ha di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. “Kemitraan ini bertujuan untuk membina, memadukan potensi dan keunggulan kedua belah pihak. Selain itu, kerjasama ini juga didukung pembiayaan istimewa dari perbankan China. Sehingga mampu mempercepat laju pengembangan perkebunan dan memperbesar akses ekspor CPO ke pasar China,” kata Sumarjono Saragih, Direktur Utama PT. Sinar citra Cemerlang.
Menurutnya, dengan memadukan pengalaman manajemen dan teknis yang handal dari mitra lokal, maka kemitraan ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang berkesinambungan, baik dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerjasama tersebut berazaskan win-win solution antara perusahaan Indonesia dan perusahaan China.
Sebagai perusahaan yang telah berpengalaman selama lebih dari 20 tahun, PT. Sinar citra Cemerlang berkomitmen untuk terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, ZTE Energy Co. Ltd adalah induk perusahaan dari PT. ZTE Agribusiness Indonesia yang didirikan pada tahun 2007 di Kota Beijing, China dengan nilai modal terdaftar sebesar 190 juta dolar AS. Adapun salah satu pemegang saham utamanya adalah ZTE Corporation yang merupakan perusahaan global terkemuka dibidang layanan dan produk telekomunikasi, di mana telah tercatat sebagai listed company di Shenzhen, China dan Hongkong. ZTE Corporation telah terpercaya memberikan layanan dan produk telekomunikasi terbaik di 140 negara dengan total pendapatan tahunan lebih dari 15 Miliar dolar AS.
“Kemampuan finansial yang kuat dan didukung dengan kemampuan pengembangan akses jaringan pasar di China, ZTE Energy Co. Ltd akan terus menambahkan nilai investasi ke dalam industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dengan nilai investasi sebesar 1 miliar dolar AS atau target skala investasi sebesar 250.000 Ha. Adapun target investasi ini akan direalisasikan melalui merger-akuisisi perkebunan kelapa sawit dan pengembangkan green field area yang sesuai dengan mempertimbangkan norma moratorium yang berlaku,” katanya.
Selain itu, ZTE Energy Co. Ltd juga terbuka dalam membina komunikasi yang baik dengan pelaku industri kelapa sawit di Indonesia dalam rangka mewujudkan potensi-potensi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan bersama.(M)
Menurutnya, dengan memadukan pengalaman manajemen dan teknis yang handal dari mitra lokal, maka kemitraan ini bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang berkesinambungan, baik dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kerjasama tersebut berazaskan win-win solution antara perusahaan Indonesia dan perusahaan China.
Sebagai perusahaan yang telah berpengalaman selama lebih dari 20 tahun, PT. Sinar citra Cemerlang berkomitmen untuk terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, ZTE Energy Co. Ltd adalah induk perusahaan dari PT. ZTE Agribusiness Indonesia yang didirikan pada tahun 2007 di Kota Beijing, China dengan nilai modal terdaftar sebesar 190 juta dolar AS. Adapun salah satu pemegang saham utamanya adalah ZTE Corporation yang merupakan perusahaan global terkemuka dibidang layanan dan produk telekomunikasi, di mana telah tercatat sebagai listed company di Shenzhen, China dan Hongkong. ZTE Corporation telah terpercaya memberikan layanan dan produk telekomunikasi terbaik di 140 negara dengan total pendapatan tahunan lebih dari 15 Miliar dolar AS.
“Kemampuan finansial yang kuat dan didukung dengan kemampuan pengembangan akses jaringan pasar di China, ZTE Energy Co. Ltd akan terus menambahkan nilai investasi ke dalam industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia, dengan nilai investasi sebesar 1 miliar dolar AS atau target skala investasi sebesar 250.000 Ha. Adapun target investasi ini akan direalisasikan melalui merger-akuisisi perkebunan kelapa sawit dan pengembangkan green field area yang sesuai dengan mempertimbangkan norma moratorium yang berlaku,” katanya.
Selain itu, ZTE Energy Co. Ltd juga terbuka dalam membina komunikasi yang baik dengan pelaku industri kelapa sawit di Indonesia dalam rangka mewujudkan potensi-potensi kerja sama yang saling menguntungkan untuk mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkesinambungan dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan bersama.(M)
MENIKMATI MENEER CAFé EXPRESS
Jamu yang sehat kini bisa dinikmati dengan cara modern, salah satu inovasi pengemasan minuman tradisional tersebut dapat ditemui di Meneer Café Express. Cafe ini merupakan ini Vanessa Kalani Ong yang merupakan putri tertua Direktur Utama PT. Nyonya Meneer, Charles Saerang. Perusahaan yang pertama kali berdiri di Semarang ini sudah berusia 91 tahun, tepatnya sejak tahun 1919. Ditengah gempuran globalisasi dengan maraknya produk cepat saji dan gaya hidup metropolitan yang serba efisien, memotivasi Vanessa untuk menuangkan ide-ide baru yang dimilikinya untuk mengembangkan produk dan usaha Jamu Nyonya Meneer ke dalam sebuah café, yang diberi nama Meneer Café Express.
“Pengembangan produk Nyonya Meneer difokuskan pada minuman yang menjadi menu utama pada café ini. Tidak ada target omset penjualan dalam diversifikasi usaha ini. Sebab tujuannya hanya untuk mendapatkan market baru, rejuvensi, serta branding baru ke arah konsumen generasi muda (younger crowd). Para generasi muda banyak yang tak mengetahui kasiat dan kegunaan jamu. Selain itu, mereka cenderung beranggapan bahwa jamu adalah obat atau minuman khusus orangtua sehingga terkesan kuno. Diharapkan café ini bisa mengingatkan kembali pada kalangan muda Indonesia tentang keberadaan jamu sebagai tradisi leluhur yang perlu dilestarikan, dan produk Indonesia asli yang perlu dibanggakan,” ujar Vanessa.
Berbagai macam minuman yang akan dipasarkan di Meneer Café Express, diolah dari bahan-bahan seperti buah-buahan dan susu. Dalam racikannya, tak lupa menyertakan campuran jamu, tanpa merubah rasa buah-buahan dan susunya menjadi pahit seperti seduhan jamu pada umumnya.
Minuman tersebut pun memiliki ciri khas tersendiri dengan nama minuman yang diciptakan secara unik dan mudah untuk diingat. Pertama, Charm Lady dengan campuran Lemon Juice, Orange powder, dan extract jamu Awet Ayu. Kedua, Serbat Sorbet dengan campuran Strawberry Juice, potongan buah Strawberry, dan extract jamu Awet Ayu. Ketiga, The Sweet Swagger dengan campuran Apple Juice, potongan buah apel, melon, dan sari asam. Selain itu ada juga menu Hot Drink, antara lain Hot Sari Asam, Serbat Hebat, Ginseng Meneer Coffee, dan Si Mungil yang merupakan miniman khusus anak-anak.
“Meneer Café Express juga ingin mengajak semua generasi muda untuk hidup Go Back to Nature dengan mengonsumsi jamu dengan olehan bahan-bahan herbal yang berkhasiat tinggi. Selain itu, diperkenalkan pula inovasi baru Nyonya Meneer melalui produk-produk yang mengombinasikan juice-juice buah dan minuman yang dapat menyegarkan tubuh dengan paduan extract jamu yang berkhasiat menyehatkan tubuh,” jelasnya.
Kedepannya akan dibuka café seperti ini di beberapa lokasi yang biasa digunakan kaum muda sebagai tempat nonkrong. Namun untuk sementara masih diutamakan di Jakarta terlebih dahulu. Jika respon konsumen bagus, maka tidak menutup kemungkinan akan dibuka lagi di beberapa kota besar di Indonesia.(M)
“Pengembangan produk Nyonya Meneer difokuskan pada minuman yang menjadi menu utama pada café ini. Tidak ada target omset penjualan dalam diversifikasi usaha ini. Sebab tujuannya hanya untuk mendapatkan market baru, rejuvensi, serta branding baru ke arah konsumen generasi muda (younger crowd). Para generasi muda banyak yang tak mengetahui kasiat dan kegunaan jamu. Selain itu, mereka cenderung beranggapan bahwa jamu adalah obat atau minuman khusus orangtua sehingga terkesan kuno. Diharapkan café ini bisa mengingatkan kembali pada kalangan muda Indonesia tentang keberadaan jamu sebagai tradisi leluhur yang perlu dilestarikan, dan produk Indonesia asli yang perlu dibanggakan,” ujar Vanessa.
Berbagai macam minuman yang akan dipasarkan di Meneer Café Express, diolah dari bahan-bahan seperti buah-buahan dan susu. Dalam racikannya, tak lupa menyertakan campuran jamu, tanpa merubah rasa buah-buahan dan susunya menjadi pahit seperti seduhan jamu pada umumnya.
Minuman tersebut pun memiliki ciri khas tersendiri dengan nama minuman yang diciptakan secara unik dan mudah untuk diingat. Pertama, Charm Lady dengan campuran Lemon Juice, Orange powder, dan extract jamu Awet Ayu. Kedua, Serbat Sorbet dengan campuran Strawberry Juice, potongan buah Strawberry, dan extract jamu Awet Ayu. Ketiga, The Sweet Swagger dengan campuran Apple Juice, potongan buah apel, melon, dan sari asam. Selain itu ada juga menu Hot Drink, antara lain Hot Sari Asam, Serbat Hebat, Ginseng Meneer Coffee, dan Si Mungil yang merupakan miniman khusus anak-anak.
“Meneer Café Express juga ingin mengajak semua generasi muda untuk hidup Go Back to Nature dengan mengonsumsi jamu dengan olehan bahan-bahan herbal yang berkhasiat tinggi. Selain itu, diperkenalkan pula inovasi baru Nyonya Meneer melalui produk-produk yang mengombinasikan juice-juice buah dan minuman yang dapat menyegarkan tubuh dengan paduan extract jamu yang berkhasiat menyehatkan tubuh,” jelasnya.
Kedepannya akan dibuka café seperti ini di beberapa lokasi yang biasa digunakan kaum muda sebagai tempat nonkrong. Namun untuk sementara masih diutamakan di Jakarta terlebih dahulu. Jika respon konsumen bagus, maka tidak menutup kemungkinan akan dibuka lagi di beberapa kota besar di Indonesia.(M)
ASKINDO: PETANI RUGI KARENA BK KAKAO
Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) Zulhefi Sikumbang, mengatakan kebijakan Bea Keluar (BK) kakao dalam implementasinya menjadi beban tambahan dan mengakibatkan ketidak pastian bagi petard dan dunia usaha. Untuk itu, ASKINDO mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi (mengkaji ulang) dan mencabut kebijakan BK. Selama ini kualitas mutu biji kakao masih rendah, tidak saja terkait dengan pengelolaan yang belum baik tetapi juga banyak (sebagian besar) belum difermentasi. Karena itu, asosiasi ini pun mendesak pemerintah agar segera meningkatkan sistem pengendalian kualitas (mutu) kakao melalui penerapan standar mutu dan sosialisasi pentingnya fermentasi kakao.
Petani Dirugikan oleh BK Kakao
“Pengenaan BK kakao tidak cukup efektif untuk meningkatkan industri pengolahan kakao di Indonesia. Permasalahan faktual yang dihadapi industri nasional pengolahan kakao diantaranya yaitu: (1) biji kakao Indonesia tidak difermentasi; (2) daya dan infrastruktur listrik yang tidak mencukupi, terutama pada saat beban puncak; (3) tingkat suku bunga kredit yang diberlakukan perbankan Indonesia sangat tinggi; dan (4) Tidak semua industri kakao di Indonesia memiliki mesin pengolah cake menjadi powder. Karena itu pernerintah seharusnya jangan kehilangan fokus dalam penyusunan kebijakan sektor perkakaoan,” katanya.
ASKINDO menilai BK sebagai beban bagi petani. Pihak paling dirugikan dengan diterapkannya kebijakan bea keluar (ekspor) kakao adalah petani. Data konsumsi industri kakao di atas menunjukkan bahwa daya serap industri terhadap produksi kakao masih kecil jika dibandingkan dengan produksi kakao Indonesia. Akibatnya terjadi surplus (produksi kakao yang tidak terserap industri) dalam jumlah yang cukup besar, yakni 66%. Jumlah tersebut tentunya akan sangat sulit untuk langsung dapat terserap oleh industri yang masih belum kompetitif. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi petani untuk melakukan ekspor terhadap produk mereka. Disisi lain petani juga tidak berdaya manakala dibebani lagi dengan Bea Keluar yang harus dipotong dari harga jual kakao. Dalam konteks tersebut penetapan Bea Keluar terhadap surplus produksi kakao yang tidak terserap oleh industri adalah bentuk ketidakadilan ekonomi.
“Produksi kakao Indonesia 600.000 MT dengan luas lahan 1,4 juta Ha dan produktivrtas 450 kg/Ha/tahun. Kebutuhan industri dalam negeri 265.000 MT/tahun dan harus terpaksa diekspor 335.000 MT/tahun. Jika Tarif BK rata-rata USD 250/ton maka, BK dinikmati oleh Pemerintah menikmati 335.000 ton x USD 250/ton = USD 83.750.000,00 dibayarkan oleh Eksporter. Industri mendapatkan subsidi dari petani 265.000 ton x USD 250/ton = USD 66.250.000, karena harga beli Industri sama dengan harga beli Eksporter, bedanya BK dikantongi untuk keuntungan Industri,” jelas Zulhefi.
Tinjauan langsung ASKINDO ke lapangan memperlihatkan bahwa saat ini petani kehilangan penghasilan mereka pada kisaran 15% jika dibandingkan sebelum diterapkannya bea ekspor kakao. Dalam jangka panjang berkebun kakao dianggap semakin tidak memiliki nilai ekonomis jika dibandingkan dengan komoditi lainnya. Akibatnya pilihan untuk mengganti komoditi mereka merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan kebijakan bea keluar kakao justru menjadi kontra produktif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia.
“Dampak Penerapan Bea Keluar, yakni mengurangi penghasilan petani senilai Bea Keluar. Kontra produktif dengan Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas Kakao (GERNAS KAKAO) yang menghabiskan anggaran trilyunan rupiah. Petani beralih ke komoditas lain dan jadi malas mengurus kebunnya. Apakah petani pantas menyumbang pemerintah dan memberikan subsidi ke industri? Di satu pihak kita tahu petani jauh dari sejahtera?” tegasnya.
ASKINDO berpendapat bahwa ada beberapa kesalahan dalam penentuan HPE (Harga Patokan Ekspor) untuk kakao. BK harusnya bernilai spesifik (satu harga, tidak diubah-ubah tiap bulan) karena akan mengakibatkan spekulasi sehingga BK dibebankan ke petani tambah besar. Harga satuan kakap tinggi dan fluktuasi harganya sangat tinggi, sehingga memberikan ketidak kepastian biaya atau ongkos dalam perhitungan pembeiian kakao (spekulatif) oleh pedagang dan eksportir. Selain itu, atas terendah harga yang dikenai BK seharusnya di atas harga yang membuat petani sejahtera.
“Harga kakao ditentukan berdasarkan Discount dari New York Terminal market, yang besarnya discount Naik atau Turun tergantung beberapa hal, seperti Permintaan, Supply, Musim Panen, Politik di negara produsen dan arbitrase London dengan Newyork market, masalah ekonomi dunia dll. Produksi kakao dunia turun 10% pada tahun 2009 Demand dunia turun 4% tahun 2009 karena krisis global. Harga Produk ditentukan dari Ratio dari Harga Biji kakao. Ratio Cocoa Butter turun dari 2,8 menjadi 1,2 yang berarti harga produk anjlok. Harga cocoa Powder naik daari USD 600/t ke USD 4000/t dan harga cocoa Cake naik dari USD 400/t ke USD 3400/t. Harga kakao di Bursa Komoditi masih tinggi, yaitu sekrtar US$ 3.000-3.500/ton. Harga biji kakao dalam kurun waktu tahun 2009-2010 cenderung di atas US$ 3.000-3.500 Akibatnya industri pengolahan kakao di seluruh dunia merugi, yang paling efisien yang mampu bertahan,” katanya.(M)
Petani Dirugikan oleh BK Kakao
“Pengenaan BK kakao tidak cukup efektif untuk meningkatkan industri pengolahan kakao di Indonesia. Permasalahan faktual yang dihadapi industri nasional pengolahan kakao diantaranya yaitu: (1) biji kakao Indonesia tidak difermentasi; (2) daya dan infrastruktur listrik yang tidak mencukupi, terutama pada saat beban puncak; (3) tingkat suku bunga kredit yang diberlakukan perbankan Indonesia sangat tinggi; dan (4) Tidak semua industri kakao di Indonesia memiliki mesin pengolah cake menjadi powder. Karena itu pernerintah seharusnya jangan kehilangan fokus dalam penyusunan kebijakan sektor perkakaoan,” katanya.
ASKINDO menilai BK sebagai beban bagi petani. Pihak paling dirugikan dengan diterapkannya kebijakan bea keluar (ekspor) kakao adalah petani. Data konsumsi industri kakao di atas menunjukkan bahwa daya serap industri terhadap produksi kakao masih kecil jika dibandingkan dengan produksi kakao Indonesia. Akibatnya terjadi surplus (produksi kakao yang tidak terserap industri) dalam jumlah yang cukup besar, yakni 66%. Jumlah tersebut tentunya akan sangat sulit untuk langsung dapat terserap oleh industri yang masih belum kompetitif. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi petani untuk melakukan ekspor terhadap produk mereka. Disisi lain petani juga tidak berdaya manakala dibebani lagi dengan Bea Keluar yang harus dipotong dari harga jual kakao. Dalam konteks tersebut penetapan Bea Keluar terhadap surplus produksi kakao yang tidak terserap oleh industri adalah bentuk ketidakadilan ekonomi.
“Produksi kakao Indonesia 600.000 MT dengan luas lahan 1,4 juta Ha dan produktivrtas 450 kg/Ha/tahun. Kebutuhan industri dalam negeri 265.000 MT/tahun dan harus terpaksa diekspor 335.000 MT/tahun. Jika Tarif BK rata-rata USD 250/ton maka, BK dinikmati oleh Pemerintah menikmati 335.000 ton x USD 250/ton = USD 83.750.000,00 dibayarkan oleh Eksporter. Industri mendapatkan subsidi dari petani 265.000 ton x USD 250/ton = USD 66.250.000, karena harga beli Industri sama dengan harga beli Eksporter, bedanya BK dikantongi untuk keuntungan Industri,” jelas Zulhefi.
Tinjauan langsung ASKINDO ke lapangan memperlihatkan bahwa saat ini petani kehilangan penghasilan mereka pada kisaran 15% jika dibandingkan sebelum diterapkannya bea ekspor kakao. Dalam jangka panjang berkebun kakao dianggap semakin tidak memiliki nilai ekonomis jika dibandingkan dengan komoditi lainnya. Akibatnya pilihan untuk mengganti komoditi mereka merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan kebijakan bea keluar kakao justru menjadi kontra produktif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia.
“Dampak Penerapan Bea Keluar, yakni mengurangi penghasilan petani senilai Bea Keluar. Kontra produktif dengan Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas Kakao (GERNAS KAKAO) yang menghabiskan anggaran trilyunan rupiah. Petani beralih ke komoditas lain dan jadi malas mengurus kebunnya. Apakah petani pantas menyumbang pemerintah dan memberikan subsidi ke industri? Di satu pihak kita tahu petani jauh dari sejahtera?” tegasnya.
ASKINDO berpendapat bahwa ada beberapa kesalahan dalam penentuan HPE (Harga Patokan Ekspor) untuk kakao. BK harusnya bernilai spesifik (satu harga, tidak diubah-ubah tiap bulan) karena akan mengakibatkan spekulasi sehingga BK dibebankan ke petani tambah besar. Harga satuan kakap tinggi dan fluktuasi harganya sangat tinggi, sehingga memberikan ketidak kepastian biaya atau ongkos dalam perhitungan pembeiian kakao (spekulatif) oleh pedagang dan eksportir. Selain itu, atas terendah harga yang dikenai BK seharusnya di atas harga yang membuat petani sejahtera.
“Harga kakao ditentukan berdasarkan Discount dari New York Terminal market, yang besarnya discount Naik atau Turun tergantung beberapa hal, seperti Permintaan, Supply, Musim Panen, Politik di negara produsen dan arbitrase London dengan Newyork market, masalah ekonomi dunia dll. Produksi kakao dunia turun 10% pada tahun 2009 Demand dunia turun 4% tahun 2009 karena krisis global. Harga Produk ditentukan dari Ratio dari Harga Biji kakao. Ratio Cocoa Butter turun dari 2,8 menjadi 1,2 yang berarti harga produk anjlok. Harga cocoa Powder naik daari USD 600/t ke USD 4000/t dan harga cocoa Cake naik dari USD 400/t ke USD 3400/t. Harga kakao di Bursa Komoditi masih tinggi, yaitu sekrtar US$ 3.000-3.500/ton. Harga biji kakao dalam kurun waktu tahun 2009-2010 cenderung di atas US$ 3.000-3.500 Akibatnya industri pengolahan kakao di seluruh dunia merugi, yang paling efisien yang mampu bertahan,” katanya.(M)
AZIZ PANE: MEMINTA PPN 0% UNTUK PEMBELIAN KARET ALAM
Ketua Dewan Karet Indonesia Aziz Pane mengatakan bahwa Industri Ban meminta pemerintah untuk menetapkan PPN 0% atas pembelian karet alam sebagai produk primer. Setelah dua tahun diajukan kepada Pemerintah sampai saat ini belum ada realisasinya dan juga tidak ada kepastian apakah masalah ini dapat dilanjutkan. Namun harapan masih tetap ada, setelah dibentuknya Dewan Karet Nasional (DKN), dimana APBI adalah sebagai salah satu Anggotanya, bahkan Pengurus dari Dewan Karet tersebut. Tahun 2010 masalah ini akan diajukan kembali melalui Dewan Karet Nasional.
“Industri pengolahan karet di dalam negeri perlu didorong agar semakin berdaya saing. Sehingga karet alam tidak langsung diekspor tetapi diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Pengenaan PPN 10% terhadap produk primer termasuk karet, membuat komoditi tersebut menjadi kurang berdaya saing, karena diekspor dalam bentuk mentah,” ujarnya.
Nilai ekspor karet dan produk karet semester I 2010 bernilai 4,341 milyar USD meningkat 110% dari 2,066 milyar USD pada 2009. Sementara itu, nilai ekspor karet alam pada 2008 dan 2009 berturut-turut USD 6,1 milyar dan USD 3,2 milyar. Volume ekspor berturut-turut 2,3 juta ton dan 2,0 juta ton. Harga rata-rata 2009 dan 2008 berturut-turut cent 270,8 /kg dan UScent 149,0 /kg. terjadi penurunan nilai dan penurunan volume ekspor. Berbeda dengan karet alam sebagai bahan baku industri karet hilir yang peka terhadap krisis financial global, nilai ekspor produk karet tidak terpengaruh. Nilai ekspor dari 2007-2009 berturut-turut USD 1,341 milyar, USD 1,547 milyar dan USD 1,639 milyar. Impor produk karet terpengaruh dengan krisis pada tahun 2009 untuk hampir semua kelompok produk. Nilai impor tahun 2007, 2008 dan 2009 berturut-turut: USD 693,1 juta, USD 867,3 juta dan USD 706,6 juta. Dari nilai ekspor pada tahun 2009 yang menonjol adalah ban terutama ban penumpang, sementara nilai impor yang menonjol pada tahun 2009 adalah ban off the road.
Turunnya daya beli dan kekwatiran akan terus berlanjutnya krisis ekonomi adalah penyebab utama dari turunnya kegiatan industri secara nasional. Tahun 2009, adalah tahun dengan pergaruh terburuk krisis ekonomi global yang dimulai awal tahun 2008, sekaligus juga tahun pemulihan ekonomi mulai semester II. Harga minyak mentah yang mencapai harga terendahnya US$ 40.6/barrel bulan Februari 2009 terus meningkat menjadi US$ 74.6/barrel pada Desember 2009. Begitu juga kepercayaan erhadap Rupiah yang terus menguat yang ditunjukkan oleh terus naiknya nilai tukar Rupiah terhadap US$, dari Rp. 10.950,-/US$ bulan Desember 2008, menjadi Rp. 9.400,-/US$ di bulan Desember 2009.
“Sudah sejak dulu importasi Cetakan Ban menggunakan Nomor HS 8480.71.00,00, tanpa ada hambatan yang berarti, baik secara administratif maupun secara finansial karena umumnya importasi cetakan ban dilakukan oleh Produsen Ban sendiri (Importir Produsen). Namun dengan adanya Permendag No. ll/M-DAG/Per/3/2010 tanggal 15 Maret 2010 mengenai ketentuan impor mesin dan peralatan mesin, bahan baku cakram optik, dalam Lampiran I dicantumkan bahwa Nomor HS yang sama yaitu 8480.71.00,00 pada uraian barang disebutkan sebagai "Cetakan-cetakan (mould) untuk bahan plastik yang digunakan dalam proses produksi cakram optik". Akibatnya impor cetakan (mould) ban sekarang dikenakan persyaratan yang sama dengan impor peralatan cakram Optik, yang sama sekali berbeda dengan impor Cetakan Ban,” katanya.
Selain itu, menurut Aziz permasalahan yang masih belum terselesaikan adalah Illegal Export. Maraknya penyelundupan bahan olah karet terutama ke Malaysia. Bahan olah karet yang belum memiliki nilai tambah dan belum dikenakan PPh yang diekspor atau penyelundupan menggunakan HS palsu atau melalui perbatasan akan mengurangi devisa, lapangan kerja (sekitar 24.000 ton setahun lewat perbatasan Kalimantan saja sejak 4 tahun yang lalu.(M)
ASBENINDO: EKSPOR BENIH HARUS DIPERMUDAH
Ketua Umum Asosiasi Benih Indonesia (Asbenindo), Elda Adiningrat mengatakan bahwa anomali iklim yang terjadi saat ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengekspor benih. Karena banyak negara di dunia yang mengalami kekurangan benih yang berkualitas dan tahan terhadap perubahan iklim yang ekstrem. “Sayanganya masih banyak peraturan dan persyaratan di dalam negeri yang justru mempersulit proses ekspor benih. Padahal persyaratan yang diterapkan di negara tujuan jauh lebih mudah,” ujarnya.
Perlu Dukungan Pemerintah
Asbenindo berharap agar pemerintah memberikan kemudahan dalam perizinan ekspor benih. Selama ini persyaratan yang ditetapkan sangat memberatkan perusahaan benih nasional, pemeriksaan di Badan Karantina Pertanian yang memakan waktu lama, ditambah dengan pengenaan pajak ekspor.
Menurut Elda, kedepannya peluang untuk ekspor benih cukup besar, terutama ke beberapa negara di wilayah subtropis di seluruh dunia. Ekspansi ini akan terwujud jika perusahaan benih nasional mendapatkan dukungan yang optimal dari pemerintah.
“Pemeriksaan benih yang akan diekspor oleh Badan Karantina Pertanian yang seharusnya bisa dilakukan dalam 1-2 hari, kenyataannya mencapai 2-3 bulan. Hal ini sangat tidak efisien, mengingat benih yang disiapkan harus segera ditanam berdasarkan permintaan. Selain itu, pelepasan varietas benih baru juga baru selesai dalam enam bulan. Sehingga dalam satu sistem pelepasan varietas perlu waktu 1,5-2 tahun. Keterlambatan ini mengakibatkan penanganan terhadap serangan hama dan penyakit secara tiba-tiba (outbreak) sangat terlambat,” kata Tantono Susantyo, Ketua Kompartemen Tanaman Perkebunan Asbenindo.
Pengembangan Bioteknologi
Industri benih Indonesia juga masih terkendala masalah pengembangan teknologi. Dibandingkan negara lain seperti China dan India, industri benih nasional belum berkembang. Penyebab utamanya adalah kurangnya dukungan pemeritah dalam hal kebijakan. Berbagai peraturan yang ditetapkan belum sepenuhnya mendukung penerapan bioteknologi.
“Dengan melimpahnya kekayaan sumberdaya genetik seharusnya membuat Indonesia memiliki kesempatan yang lebih baik daripada negara lain. Potensi bioteknologi ini harus dikembangkan, sebab Indonesia memiliki bahan baku tanaman yang memadai,” jelas Elda
Asbenindo melihat kenyataan bahwa sebagian besar kebijakan pemerintah di bidang pertanian belum kondusif dan konsisten dalam mendukung investasi industri benih. Dengan terbentuknya Komisi Keamanan Pangan dan Keamanan Hayati Nasional, diharapkan pertumbuhan bioteknologi pertanian bisa lebih maju. Industi benih masih menunggu peran komisi tersebut dalam mengembangkan bioteknologi.
“Melalui bioteknologi akan terwujud diversifikasi produk benih dari teknologi sederhana ke yang lebih mutakhir. Hal ini bisa menjadi kekuatan bagi industri benih, karena akan meningkatkan kemampuan adaptasi dengan perkembangan iklim global. Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Bahkan menjadi peluang berkembangnya industri benih,” imbuhnya.
Perkembangan industri benih di Indonesia perlu dibedakan antara benih tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan. Khusus untuk industri benih perkebunan belum mengalami peningkata yang signifikan. Terutama karena tidak banyak pengusaha yang menanamkan modalnya, kecuali benih sawit. Hambatannya yakni investasi yang harus ditanamkan untuk mengembangkan industri benih perkebunan jauh lebih besar dibandingkan sektor lainnya.
“Untuk benih sawit saja memerlukan waktu sampai lima tahun agar mendapatkan benih unggul. Benih tanaman tahunan umumnya butuh waktu lebih lama dalam membuktikan keunggulannya. Sehingga dari sisi skala industri, pertumbuhan benih perkebunan tidak seperti industri benih lainnya,” tambahnya. (M)
SUSWONO: PANGAN NASIONAL HARUS BERDAYA SAING
Suswono ternyata menaruh perhatian yang sangat besar terhadap persediaan pangan nasional. Baginya ketersediaan produksi pangan dunia yang terbatas telah mengakibatkan persaingan ketat pada penggunaan bahan pangan pokok untuk pangan (food), pakan (feed), dan bahan bakar (fuel). Lantas bagaimana menstabilkan harga komoditi pangan pokok yang akhir-akhir ini cenderung fluktuatif? Perubahan status BULOG menjadi BUMN berbentuk Perusahaan Umum (Perum) menuntutnya untuk mengelola stok ketahanan pangan, sekaligus operasi bisnis komersial dengan baik.
Pria yang menjabat sebagai Menteri Pertanian sejak Oktober 2009 pada Kabinet Indonesia Bersatu II ini berhasil menyelesaikan studi S3 di Program Studi Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor (IPB) tanggal 3 September lalu. Disertasinya berjudul “Strategi Peningkatan Daya Saing Organisasi Logistik Pangan Nasional yang Berkelanjutan: Studi Kasus BULOG”. Analisisnya mengenai bagaimana meningkatkan daya saing BULOG setelah terjadi perubahan status dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perum. Penulisan Disertasi ini pun dibimbing oleh beberapa tokoh di bidang pertanian, seperti Bustanul Arifin, Arief Daryanto, dan M. Husein Sawit.
“Dalam meningkatkan daya saing, ada tiga strategi yang perlu dilakukan oleh BULOG. Pertama, BULOG harus tetap menjalankan Bisnis Public Services Obligation (PSO) sebesar 68%, serta menjalankan fungsi sosial ekonomi 18% dan bisnis non PSO 14%. Kedua, pilihan strategi yang harus ditempuh adalah strategi value creation sebanyak 45%. Ketiga, perspektif faktor kinerja perusahaan, yaitu perspektif learning and growth, internal process, customer/stakeholder, dan finance, dengan memprioritaskan perspektif learning and growth sebesar 32% dan internal process sebanyak 31%,” jelasnya.
Menurut sosok yang pernah menjadi anggota DPR RI melaui Partai Keadilan Sejahtera (PKS), kriteria kerja kunci BULOG yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya dalam menciptakan daya saing organisasi secara berkelanjutan dibagi dalam dua fungsi, yakni fungsi PSO dan non PSO. Sedangkan value creation sebagai strategi yang ideal memiliki konsekuensi bahwa manajemen dan seluruh SDM BULOG harus mengubah paradigm dan mindset yang beranggapan bahwa PSO sebagai penugasan pemerintah bersifat menopolistik dan berdimensi sosial kemasyarakatan. Cepat atau lambat, era persaingan akan dibuka oleh pemerintah, baik dengan alasan legalistik formal maupun tuntutan stakeholders.
Tugas PSO sendiri tidak serta merta membuat BUMN yang ditugaskan seperti BULOG mendapat untuk 0%. Karena penugasan masih memberikan kesempatan bagi pelaksana untuk mendapatkan margin atau memperoleh delta dari setiap penugasan dalam fungsi PSO. Pelaksana PSO bisa mendapatkan margin sesuai dengan misinya sebagai sebuah lembaga profit. Sehingga dengan adanya pemisahan portofolio bisnis BULOG (PSO dan non PSO), keduanya dapat berjalan mandiri dan tetap menghasilkan profit sesuai dengan karekter bisnisnya.
“Mengacu pada berbagai faktor dan potensi yang dimiliki oleh BULOG dan melihat tantangan serta peluangnya di masa yang akan datang, maka seharusnya BULOG dapat berkembang. Lembaga ini semestinya memiliki kemandirian serta tanggung jawab yang lebih luas dalam mengelola usaha logistik pangan pokok nasional yang bersifat pelayanan masyarakat maupun komersial. Perlu dilakukan suatu kajian khusus tentang strategi untuk meningkatkan daya saing Perum BULOG. Sehingga dapat memberikan peningkatan nilai tambah bagi perusahaan itu sendiri, maupun pemerintah,” jelasnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mentan di BULOG pusat, Jakarta dengan pengambilan data yang dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai Februari 2010, ditemukan beberapa fakta yang berkaitan dengan BULOG. Setidaknya ada lima hal yang harus diperbaiki BULOG sebagai implikasi manajerial untuk menjadi lembaga pangan nasional yang lebih efisien dan efektif, yaitu transformasi sistm pengelolaan keuangan, kelembagaan perusahaan, penilaian kerja, kultur perusahaan, dan hubungan kelembagaan. Dengan dilakukannya proses transformasi tersebut, BULOG dapat menjadi lembaga publik yang dapat menjalankan fungsi penugasan pemerintah.
“Tantangan terberat yang dihadapi BULOG setelah berhasil merumuskan strategi adalah tahapan mengimplementasikan atau mengeksekusi strategi. Karena banyak perusahaan yang memiliki strategi komprehensif, tetapi tidak berhasil memperoleh manfaat yang disebabakan kegagalan dalam mengimplementasikan,” ujarnya.
Suswono menambahkan, tantangan BULOG lainnya adalah menerjemahkan setiap Balanced Scorecard yang telah diterjemahkan pada tingkat perusahaan, diturunkan, dan disusun ulang (cascading). Sehingga menjadi ukuran kinerja di tingkat unit kerja terkecil atau bahkan ukuran kinerja individu. Proses cascading harus melaraskan (alignment) dengan strategi yang telah dir umuskan pada tingkat perusahaan.
Hal ini menimbulkan implikasi manajerial lainnya, berupa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses cascading. Pertama, menentukan tujuan visi, analisis visi, dan misi divisi. Kedua, mencari relevansi divisi, mengidentifikasi kontribusi, dan pengaruh divisi trhadap peta strategi perusahaan. Ketiga, mengidentifikasi pelanggan divisi. Keempat, aktivitas divisi, mengidentifikasi tugas pokok (proses inti) dari divisi. Kelima, identifikasi harapan pelanggan, mentabulasi output, pelanggan dan harapan pelanggan. Keenam, memeperhatikan isu-isu lokal. Ketujuh, konsolidasi dan tes logika, menyusun peta strategi divisi. Kedelapan, memilih Key Performance Indicator (KPI), mengidentifikasi, dan mendefenisikan KPI untuk setiap sasaran strategi lainnya. Kesembilan, menentukan target dan inisiatif strategis, target KPI, dan inisiatif strategis untuk setiap sasaran strategis.
“Langkah antisipasi yang dapat dilakukan BULOG untuk mengatasi hambatan visi adalah membuat strategi yang dipahami oleh semua elemen perusahaan. Untuk hambatan pelaku, perlu dilakukan pemberian insentif yang diterima oleh karyawan berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian strategi perusahaan. Sedangkan untuk mengatasi hambatan manajemen, BULOG dapat melakukan penggalangan dukungan dan komitmen manajemen agas bisa menjalankan strategi perusahaan. Pada hambatan sumberdaya, dapat diatasi dengan upaya menghubungkan antara strategi dan anggran yang disediakan oleh perusahaan,” paparnya.
Dengan mempertimbangkan tantangan organisasi di masa depan dan sumberdaya yang dimiliki oleh perusahaan, maka sangat penting untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing organisasi di masa mendatang. Tujuan dirumuskannya strategi tersebut yaitu agar tercapai pengembangan BULOG yang relevan dalam kurun waktu lima tahun mendatang (2010-2015). (M)
Langganan:
Postingan (Atom)