Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO) Zulhefi Sikumbang, mengatakan kebijakan Bea Keluar (BK) kakao dalam implementasinya menjadi beban tambahan dan mengakibatkan ketidak pastian bagi petard dan dunia usaha. Untuk itu, ASKINDO mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi (mengkaji ulang) dan mencabut kebijakan BK. Selama ini kualitas mutu biji kakao masih rendah, tidak saja terkait dengan pengelolaan yang belum baik tetapi juga banyak (sebagian besar) belum difermentasi. Karena itu, asosiasi ini pun mendesak pemerintah agar segera meningkatkan sistem pengendalian kualitas (mutu) kakao melalui penerapan standar mutu dan sosialisasi pentingnya fermentasi kakao.
Petani Dirugikan oleh BK Kakao
“Pengenaan BK kakao tidak cukup efektif untuk meningkatkan industri pengolahan kakao di Indonesia. Permasalahan faktual yang dihadapi industri nasional pengolahan kakao diantaranya yaitu: (1) biji kakao Indonesia tidak difermentasi; (2) daya dan infrastruktur listrik yang tidak mencukupi, terutama pada saat beban puncak; (3) tingkat suku bunga kredit yang diberlakukan perbankan Indonesia sangat tinggi; dan (4) Tidak semua industri kakao di Indonesia memiliki mesin pengolah cake menjadi powder. Karena itu pernerintah seharusnya jangan kehilangan fokus dalam penyusunan kebijakan sektor perkakaoan,” katanya.
ASKINDO menilai BK sebagai beban bagi petani. Pihak paling dirugikan dengan diterapkannya kebijakan bea keluar (ekspor) kakao adalah petani. Data konsumsi industri kakao di atas menunjukkan bahwa daya serap industri terhadap produksi kakao masih kecil jika dibandingkan dengan produksi kakao Indonesia. Akibatnya terjadi surplus (produksi kakao yang tidak terserap industri) dalam jumlah yang cukup besar, yakni 66%. Jumlah tersebut tentunya akan sangat sulit untuk langsung dapat terserap oleh industri yang masih belum kompetitif. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi petani untuk melakukan ekspor terhadap produk mereka. Disisi lain petani juga tidak berdaya manakala dibebani lagi dengan Bea Keluar yang harus dipotong dari harga jual kakao. Dalam konteks tersebut penetapan Bea Keluar terhadap surplus produksi kakao yang tidak terserap oleh industri adalah bentuk ketidakadilan ekonomi.
“Produksi kakao Indonesia 600.000 MT dengan luas lahan 1,4 juta Ha dan produktivrtas 450 kg/Ha/tahun. Kebutuhan industri dalam negeri 265.000 MT/tahun dan harus terpaksa diekspor 335.000 MT/tahun. Jika Tarif BK rata-rata USD 250/ton maka, BK dinikmati oleh Pemerintah menikmati 335.000 ton x USD 250/ton = USD 83.750.000,00 dibayarkan oleh Eksporter. Industri mendapatkan subsidi dari petani 265.000 ton x USD 250/ton = USD 66.250.000, karena harga beli Industri sama dengan harga beli Eksporter, bedanya BK dikantongi untuk keuntungan Industri,” jelas Zulhefi.
Tinjauan langsung ASKINDO ke lapangan memperlihatkan bahwa saat ini petani kehilangan penghasilan mereka pada kisaran 15% jika dibandingkan sebelum diterapkannya bea ekspor kakao. Dalam jangka panjang berkebun kakao dianggap semakin tidak memiliki nilai ekonomis jika dibandingkan dengan komoditi lainnya. Akibatnya pilihan untuk mengganti komoditi mereka merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Jika kondisi ini terus dibiarkan kebijakan bea keluar kakao justru menjadi kontra produktif dalam pengembangan industri kakao di Indonesia.
“Dampak Penerapan Bea Keluar, yakni mengurangi penghasilan petani senilai Bea Keluar. Kontra produktif dengan Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas Kakao (GERNAS KAKAO) yang menghabiskan anggaran trilyunan rupiah. Petani beralih ke komoditas lain dan jadi malas mengurus kebunnya. Apakah petani pantas menyumbang pemerintah dan memberikan subsidi ke industri? Di satu pihak kita tahu petani jauh dari sejahtera?” tegasnya.
ASKINDO berpendapat bahwa ada beberapa kesalahan dalam penentuan HPE (Harga Patokan Ekspor) untuk kakao. BK harusnya bernilai spesifik (satu harga, tidak diubah-ubah tiap bulan) karena akan mengakibatkan spekulasi sehingga BK dibebankan ke petani tambah besar. Harga satuan kakap tinggi dan fluktuasi harganya sangat tinggi, sehingga memberikan ketidak kepastian biaya atau ongkos dalam perhitungan pembeiian kakao (spekulatif) oleh pedagang dan eksportir. Selain itu, atas terendah harga yang dikenai BK seharusnya di atas harga yang membuat petani sejahtera.
“Harga kakao ditentukan berdasarkan Discount dari New York Terminal market, yang besarnya discount Naik atau Turun tergantung beberapa hal, seperti Permintaan, Supply, Musim Panen, Politik di negara produsen dan arbitrase London dengan Newyork market, masalah ekonomi dunia dll. Produksi kakao dunia turun 10% pada tahun 2009 Demand dunia turun 4% tahun 2009 karena krisis global. Harga Produk ditentukan dari Ratio dari Harga Biji kakao. Ratio Cocoa Butter turun dari 2,8 menjadi 1,2 yang berarti harga produk anjlok. Harga cocoa Powder naik daari USD 600/t ke USD 4000/t dan harga cocoa Cake naik dari USD 400/t ke USD 3400/t. Harga kakao di Bursa Komoditi masih tinggi, yaitu sekrtar US$ 3.000-3.500/ton. Harga biji kakao dalam kurun waktu tahun 2009-2010 cenderung di atas US$ 3.000-3.500 Akibatnya industri pengolahan kakao di seluruh dunia merugi, yang paling efisien yang mampu bertahan,” katanya.(M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar